c.q. semoga ‘benar’
Tren ‘keren’ sebagai ‘nilai’ era milenial kekinian ini—sebenarnya—adalah
tidak bernilai (nir-nilai) benar/salah (logika), indah/jelek (estetika), atau
baik/buruk (etika). Namun faktanya, generasi ‘mereka’ telah bersikap/berbuat/berkarya
dan diberi nilai ‘keren’. Contoh tren-masifnya adalah TATO pada tubuh orang
Islam dan dinilai oleh orang Islam. Justru, orang Islam yang menilai itu jangan
lantas bingung karena nanti dianggap tidak keren alias ketinggalan zaman alias
tidak kekinian. Konkretnya: Irfan Bachdim. Saya berbaik sangka: definisi ‘tato’-nya
menurut beliau adalah ‘sesal’.
Saya pun dibesarkan era milenial ini. Misalnya, saya kini
punya definisi ‘nilai’ keberimanan seseorang. Sekadar hipotesis, belum konklusi
bahwa (1) pemahaman keberimanan/keberagamaan seseorang termasuk beragama alias
diberi hidayah iman itu hak Tuhan. Contoh fenomenalnya: Nabi Muhammad tidak
bisa mengislamkan pamannya, Abu Thalib, padahal membantu dan melindungi dakwah
Nabi, atau Nabi Nuh kepada anaknya, atau Nabi Ibrahim kepada bapaknya, atau Nabi
Luth kepada istrinya; (2) pelaksanaan keberimanan itu hak individu (manusia beragama),
hingga level Nabi pun sekadar sebagai pengingat, bukan pemaksa agar beragama
dan mengikuti jejaknya; serta (3) penilaian orang itu beriman atau tidak itu
hak Tuhan, urusan Tuhan, kita kok ikut capek; maka sanksinya di luar kemampuan
kita sebagai manusia karena kita mahabenar dalam perspektif, sedangkan Tuhan
Mahabenar dalam komprehensif. Jadi, nilai keberimanan seseorang itu didominasi
oleh hak Tuhan.
Add. manusia tidak beragama/tidak ber-Tuhan (ateis)
itu sesungguhnya menuhankan dirinya. Selamat capek sendiri!
Seiring bertambah umur (baca: berkurang jatah hidup) dan
diprovokasi adagium: tak ada manusia yang sempurna; awalnya, biarkan liar
ekspresif-impresif seenak udel atau menjadi manusia sempurna, bahkan menjadi Tuhan,
sehingga bisa menghakimi sesama; lantas mentok ke cadas: sungguh sia-sia menjadi
manusia sempurna, menjadi teladan ditiru-dipuja sementara di lingkungan
orang-orang terdekatnya, orang-orang terkasihnya, dia tak berdaya, tak bisa
memberi teladan, tak bisa memberi kesempurnaan seperti dirinya; maka bukan ‘keren’
lagi—yang dianggap nilai tertinggi (zenit) kekinian, padahal profan—tapi doa, sublimasi,
dan semoga dianggap lebih sakral, yakni: ‘gairah’.
Akhirnya (?), memang di-pepende (dininabobokan)
oleh adagium itu: kelas Nabi pun tak
berdaya, namun mujarab. Fakta: memang kita itu manusia biasa, aku mah apa atuh,
… jalani saja!
Siklus ‘gairah’ bahwa sedang hidup
harus bergairah = berproses = beruntung! Kalo generasi kekinian, harus lantang dong:
berani hidup, bukan berani mati!
Kesaksian ragawidya saya, yang beruntung
itu orang sabar; dia menjalani kehidupan dengan bergairah tak ada nilai sukses-gagal,
kaya-miskin, atau pintar-bodoh dalam kamus hidupnya … Hehe, ternyata nir-nilai
juga. Ya inilah—semoga—sublimasi dari nilai ‘keren’ ke ‘gairah’.
Mungkin, ‘keren’ definisi dari manusia,
sedangkan ‘gairah’ dari Tuhan. Karena mungkin, selama ini, kita selalu menilai
dari hasil; sedangkan Tuhan dari proses. Faktanya: kita mah makhluk, Tuhan itu
Khalik. Proses kita sebagai makhluk dinilai Tuhan; sedangkan hasil kita sebagai
makhluk, tentu Tuhan telah tahu sejak primordial alias takdir kita telah
ditentukan sejak awal. Hihi, Tuhan ingin bermain juga rupanya.
Terima kasih, Kawan bermain, amin yRa.
Ujungberung, 15 Juli 2017, adzan asar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar